Minggu, 31 Mei 2009

Mencari Mutiara di Tumpukan Sampah (Bagian 1)

Sampah. Kata yang terbayang di kepala saya ketika mengasosiasikan sampah adalah kotor, bau dan tak berharga.

Tak salah pula jika ada yang mengasosiasikan kata demokrasi dengan sampah. Mengapa? Jawabannya sederhana sekali, karena demokrasi kotor, bau dan tak berharga. Sepakat?

Tapi, pada tulisan ini kita tak akan membahas terlalu jauh tentang sampah yang bernama demokrasi. Demokrasi bukan untuk dibahas, tapi untuk dibuang ke tempat sampah. ^_^


Jika kita bicara tentang sampah, ada banyak jenis sampah yang telah kita ketahui. Pembagian umumnya biasanya adalah antara sampah basah dan sampah kering. Sederhana, sampah basah adalah sampah yang basah, dan sampah kering adalah sampah yang kering. Benar nggak? Ah, jika saya salah, mohon maafkan saja. Baik, kita kembali, sepertinya sejak sekarang kita perlu menambah inventarisasi jenis-jenis sampah di ensiklopedia otak kita. Saya telah banyak menemukan jenis-jenis sampah baru. Sebenarnya tidak benar-benar baru, tapi selama ini banyak yang tak menyadari bahwa itu adalah sampah.

Sampah yang pertama adalah sampah televisi. Ya, televisi. Lebih jelasnya, televisi adalah sampah. Bukan televisi dalam artian benda elektronik yang bisa menampilkan motion picture. Bukan itu. Maksud saya, adalah berbagai tayangan televisi yang tiap hari kita lihat. Itulah sampah. Mengapa sampah? Karena kotor, bau dan tak berharga.

Kita lihat betapa tak berharganya berbagai acara reality show di televisi kita. Sebagai contoh kecil saja, ada reality show berbentuk talk show yang menampilkan dua pihak yang sedang bertikai. Di acara tersebut, bukan sekedar adu mulut yang terjadi, umpatan-umpatan kotor pun keluar bahkan kadang-kadang diselingi dengan fisik. Pertanyaannya, apa yang ingin diberikan bagi pemirsa televisi? Tidak ada, tujuannya cuma ingin mengaduk-aduk emosi pemirsa dan akhirnya rating meningkat dan iklan membanjir. Pemirsa diberikan sampah. Ada juga reality show yang mencoba mempermainkan wong cilik, dengan dalih ingin membantu mereka. Bukan cuma ada, bahkan sangat banyak, hampir di setiap stasiun televisi kita. Lagi-lagi pemirsa diberikan sampah.

Istirahat sejenak...

Sampah yang kedua adalah sampah media cetak. Koran, tabloid, majalah. Sama saja. Semuanya adalah sampah. ~_^. Saya sadar, pasti banyak yang tidak sepakat dengan saya. Tapi coba kita lihat dengan hati jernih dan mata yang terbuka. Minimal ada dua alasan mengapa media cetak merupakan sampah.

Pertama, seberapa banyak manfaat yang diberikan media cetak bagi kita sebagai pembaca. Apakah koran yang tiap hari kita baca mampu meningkatkan kecerdasan kita? Jawabannya tidak. Informasi dari koran hanya menambah tumpukan file informasi tak berharga di otak kita. Majalah dan tabloid sama saja. Begitu banyak tulisan dengan berbagai rubrikasi, tetap tak menambah apa-apa bagi sebagian besar pembacanya.

Alasan kedua adalah pemahaman standar tentang media massa. Jika kita melek tentang jurnalisme, tentu kita paham bahwa ada dua kuasa yang berpengaruh besar terhadap media massa, yaitu kuasa ideologi dan kuasa uang. Kuasa ideologi adalah ruh bagi setiap media massa. Jangan pernah percaya bahwa media massa, termasuk media cetak, bisa bersikap objektif dalam setiap berita, liputan maupun tulisannya. Maksud saya, objektif dalam artian tak terpengaruh oleh pemahaman-pemahaman tertentu.

Sedikit penjelasan saja, dalam pemuatan berita koran misalnya, langkah pertama adalah pencarian data dan fakta yang berhubungan dengan berita yang akan disajikan. Sampai disini, seakan terkesan objektif. Langkah berikutnya, adalah pembuatan tulisan berdasarkan fakta dan data yang ada. Ini pasti sudah tidak objektif. Contoh sederhananya, fakta dan data yang terkumpul misalnya adalah si Adul di kota B didatangi oleh ribuan orang yang ingin meminta berkah kepadanya. Judul berita yang akan muncul di koran bisa bermacam-macam. Sebagai contoh saja:

"RIBUAN ORANG NGALAP BERKAH PADA ADUL"

"ADUL SAKTI DARI KOTA B"

"LAGI, ORANG SAKTI DARI KOTA B"

"RATUSAN ORANG TERINJAK SAAT MINTA BERKAH PADA ADUL"

"CALEG IKUT NGALAP BERKAH"

"SYIRIK YANG MAKIN MENJADI-JADI", dll

Ini jelas sudah tak objektif. Kita belum bicara isi tulisannya.

Nah, kebanyakan media massa di Indonesia adalah pengikut ideologi Liberalisme Sekuler. Sehingga, isi beritanya tentu tak jauh dari pemahaman ideologi tersebut. Parahnya, media massa juga bertugas untuk menarik pembacanya mengikuti dan menganut pemahaman yang sama. Artinya, semakin sering dan rutin kita menikmati media massa, semakin besar peluang kita mengikuti pemahaman ideologi Liberalisme Sekuler secara tak sadar.

Hmm...

Kuasa berikutnya yang berpengaruh besar terhadap media massa adalah kuasa uang. Bahkan kuasa uang bisa mengalahkan idealisme ideologi mereka. Ambil contoh, mengapa ada sebagian televisi kita yang menayangkan acara ceramah Islami dengan durasi yang lumayan panjang. Jawabannya bukanlah karena mereka ingin ikut terlibat mensyiarkan Islam. Sama sekali tidak. Bahkan itu sangat bertentangan dengan ideologi mereka yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Jawaban yang benar adalah karena mereka melihat ada satu segmentasi pemirsa yang harus mereka garap, untuk menambah pundi-pundi uang mereka, yaitu segmentasi pemirsa yang punya ghirah keislaman yang tinggi. Segmen ini lumayan besar di masyarakat. Ini yang ditangkap oleh media massa. Tugas mereka berikutnya adalah meyakinkan pengiklan.

Kuasa uang ini juga yang menyebabkan sebagian media massa berani memuat judul-judul bombastis, bahkan berita-berita fitnah yang tak sesuai kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar oplah mereka meningkat dan uang mengalir deras.
Sekarang, sudah jelas kan mengapa media cetak adalah sampah. O_^

Mari kita hela nafas dulu...fuiihhh...

(bersambung)

Artikel Terkait



Comments :

0 komentar to “Mencari Mutiara di Tumpukan Sampah (Bagian 1)”


Posting Komentar